Rabu, 30 November 2011

Berkunjung ke Rumah 'Saudara' Jauh

@ Pusat Primata Schmutzer
Beberapa hari setelah pemberitaan media massa tentang pembantaian puluhan orangutan di Desa Puan Cepak, Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan. Hal ini karena beberapa bulan sebelumnya juga tersiar kabar kalau orangutan di kebun binatang terbesar di Asia Tenggara itu juga terlantar, kandangnya kurang terawat, dan ada ketidakseimbangan antara luas kandang dengan populasi yang menghuninya. Maka dari itu, saya ingin melihat dan mengenalnya dari dekat.

Menurut surat kabar yang saya baca tersebut, jumlah orangutan yang menempati kandang di Ragunan sebanyak 55 ekor. Padahal, idealnya kandang orangutan tersebut dihuni sebanyak 30 populasi saja. Kebanyakan orangutan di sini adalah korban perdagangan hewan ilegal yang diserahkan oleh Kementerian Kehutanan dan para pecinta binatang yang menentang kegiatan menjadikan orangutan sebagai hewan peliharaan.

Yang mendorong saya datang ke Ragunan selain karena ingin melihat orangutan adalah keberadaan Pusat Primata Schmutzer. Pusat Primata Schmutzer merupakan pusat primata terbesar di dunia. Dibangun atas prakarsa Pauline Antoinette Schmutzer-versteegh karena kecintaannya pada satwa terutama primata yang hampir punah. Dahulu, pengelolaannya diserahkan kepada The Gibbon Foundation, namun sejak tahun 2006 diserahkan pada Kebun Binatang Ragunan.

Mencari Orangutan ;-
Meski dihuni oleh berbagai macam spesies primata seperti gorila, owa jawa, kera hitam Sulawesi, siamang, dan lain-lain, yang saya cari di Pusat Primata Schmutzer adalah keberadaan 'kandang' orangutan. Setelah mengikuti arah papan penunjuk keberadaan orangutan, saya menemukan pintu gua yang menjadi pintu masuk enklosur orangutan yang dapat kita lihat dari balik kaca. Di dalam lorong tersebut gelap sekali. Beberapa bagian dipasangi rumbai-rumbai seperti akar pohon. Yang menyebalkan adalah keberadaan para ABG yang duduk bergerombol di dalam terowongan, yang kadang membuat macet jalan. Kalau mau nongkrong mbok ya di 7/11 saja. Sigh.

Mengikuti jalur terowongan gelap gulita tersebut, saya tak menemukan satu pun orangutan ada di dalamnya. Saya hanya melihat kandang kosong yang memang diatur seperti hutan buatan dan menyerupai habitat asli orangutan. Malahan yang banyak di sini adalah ABG lagi pacaran. Duh. Tak mau kecewa karena tak melihat orangutan, saya pun bertanya pada petugas jaga di pintu masuk. Katanya, orangutan di Pusat Primata Schmutzer untuk sementara direlokasi. Hah? Direlokasi ke mana ya? Tapi, saya juga ditunjukkan bahwa di kandang Kebun Binatang Ragunan ada juga orangutan.

Memang masih ada dua orangutan di kawasan Kebun Binatang Ragunan ini, terpisah dari kandang di Pusat Primata Schmutzer. Tapi keadaannya menyedihkan. Satu orangutan sedang dikerangkeng. Satu lagi orangutan tua dengan rambut awut-awutan yang sedang malas-malasan di atas rumah pohon sambil tak henti-hentinya menguap. Orangutan ini sesekali memerhatikan orang-orang di luar pagar dengan ekspresi ogah-ogahan seolah males menanggapi panggilan mereka yang menjadikannya sebagai tontonan.

Orangutan dalam 'sangkar emas' ;'-(

Sebenarnya orangutan yang ada di sini lebih terancam keberadaannya dibandingkan dengan yang ada di dalam Pusat Primata Schmutzer karena pengunjung begitu bebasnya melemparkan makanan. Padahal, orangutan itu sangat sensitif dan mudah terserang penyakit kalau makan sembarangan. Saya juga pernah diingatkan oleh salah seorang teman bahwa kalau sakit juga jangan dekat-dekat orangutan, biar tidak menulari. Parahnya, saya mendapat informasi dari petugas kalau orangutan di Ragunan sudah ada yang pandai merokok karena ada pengunjung yang iseng meleparkan puntung rokok ke dalam kandang.

jalan-jalan Minggu ;-)
Memang, saya sebenarnya lebih suka melihat hewan-hewan di kebun binatang tersebut hidup bebas di habitatnya, termasuk orangutan. Tapi, melihat kenyataan yang ada, susah juga menjamin keselamatan dan kesejahteraan hidup mereka. Hutan yang menjadi habitat mereka banyak yang habis dibabat untuk lahan sawit. Kadang saya pikir, orangutan-orangutan itu menjadi 'hama' bagi sawit karena hutan sebagai penyedia makanan mereka sudah tidak tersedia lagi. Ngeri sekali kalau melihat ada penyiksaan orangutan. Eh, saya kok tiba-tiba jadi curiga, jangan-jangan orangutan-orangutan yang dipenggal itu orangutan yang dulunya ada di Pusat Primata Schmutzer ini. Ih, amit-amit ya, semoga saja bukan.

Padahal, orangutan itu penting juga bagi kelestarian alam. Kebiasaannya yang suka bergelantungan di atas pohon dan berpindah tempat ke sana ke mari dapat menyebabkan kanopi lebatnya hutan tropis sehingga mengijinkan sinar matahari dapat menerobos masuk hingga ke tanah. Karena sering berpindah tempat, orangutan juga menjadi penyebar biji yang baik selain kotorannya yang menyuburkan. Hal ini menunjukkan kalau keberadaan orangutan itu penting bagi kelangsungan siklus regenerasi hutan.
 
Kalau beberapa waktu lalu diadakan Konferensi Perubahan Iklim di Bali yang mengusung isu bahwa es di kutub mencair dan mengancam kelangsungan hidup beruang kutub, harusnya digalakkan pula isu go green yang mengusung tema besar melestarikan hutan Indonesia dengan menyelamatkan orangutan. Orang pada heboh-heboh soal go green dengan naik sepeda ke kantor atau jalan kaki, tapi acuh sekali saat ada pembalakan liar atau pembantaian orangutan. Malah, ada yang bikin joke segala tentang betapa tidak pentingnya menyelamatkan orangutan. Sigh.

Ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup orangutan saat ini adalah manusia. Pembukaan lahan dan pembalakan liar untuk tujuan komersialisasi industri sudah banyak merusak kelestarian hutan Indonesia. Beberapa LSM melansir kalau setiap menit, Indonesia mengalami kerusakan hutan sebesar enam kali lapangan bola. Dan itu terus berlangsung hingga sekarang. Menempatkan orangutan pada hutan lindung dan taman nasional juga bukan solusi jika pada akhirnya hutan lindung dan taman nasional yang dijadikan sebagai kawasan konservasi diobrak-abrik juga atas nama industrialisasi.
Makanya saya agak ngeri kalau membayangkan bahwa jika proses ini tidak dihentikan (atau paling tidak dikurangi dan diatur), keberadaan hutan tropis, kelangsungan hidup flora dan fauna, dan julukan Zamrud Khatulistiwa hanya tinggal sejarah pahit, termasuk keberadaan orangutan yang populasinya terus menyusut.

Ibu Puck Schmutzer, penyayang primata ;-)
Padahal, orangutan adalah primata 'saudara' terdekat manusia. Orangutan memiliki kebiasaan untuk melapisi tempat tidurnya dengan alas atau menggunakan daun untuk mengambil benda tajam. Kekurangpahaman akan pentingnya fungsi orangutan dalam hubungannya dengan kelestarian hutan membuat orang semena-semena memperlakukannya. Kita memang selalu ketinggalan dalam merawat 'harta terpendam' yang kita miliki sampai menyadari dengan penuh penyesalan saat harta itu rusak atau hilang. Masa kita tidak malu sih, kalau ternyata orang asing yang lebih bisa merawat kekayaan hayati di negeri kita sendiri. Apakah tidak malu juga kalau yang memerhatikan orangutan adalah orang seperti Pauline Antoinette Schmutzer-versteegh yang orang Belanda.

Pak Sudjewo Tedjo pernah membuat pernyataan yang membuat orang 'jleb' bahwa 'Tak ada negeri yang lebih sibuk untuk menghancurkan dirinya sendiri selain Indonesia.' Mungkin, pernyataan itu terlontar agar banyak orang cepat sadar dan berbenah diri. Mulai hidup secara wajar, mencintai negeri dengan sepenuh hati, dan tidak merusak alam dan hutan hanya karena setoran upeti. Toh, kalau hutannya lestari, kita juga yang akan menikmati.

Saya juga jadi teringat dengan ungkapan bijak dari Suku Indian di Amerika yang membuat orang kembali berpikir tentang masa depan kelangsungan alam. Ungkapan tersebut berbunyi ' bila pohon terakhir telah habis ditebang dan tetesan air telah habis diminum, ternyata uang tidak dapat dimakan'. Sudahkah kita menyadari hal ini?

3 komentar:

  1. Menyedihkan ya? saya pikir inisiatif seperti Smutzer ini adalah jalan keluar. Karena kita tidak ingin hanya bergantung pada pemerintah saat membangun sarana publik,- nah, masalahnya adalah kontinuitas (perawatan/program). Smutzer lagi lagi (bisa) menjadi bangunan tak berwajah ;(

    BalasHapus
  2. @Mas Riri Riza : Awalnya Schmutzer adalah solusi. Itu saat dikelola secara independen dengan bantuan dari Gibbon Foundation. Tapi sejak pengelolaannya dilimpahkan ke pemerintah, komersialisasi perlahan-lahan mengurangi ‘tingkat’ kesejahteraan penghuni Schmutzer. Itulah salah satu PR besar bangsa ini: melawan lupa. Banyak sekali monumen dan museum dibangun, pusat rahabilitasi satwa didirikan, publikasi tentang 'kekayaan'(Nusantara) disebarluaskan, tapi gaungnya hanya sebatas saat diresmikan saja. Setelah itu, kalau tidak membawa keuntungan secara komersial, tiba-tiba terlantar dan terlupakan. Deforestasi pada beberapa Taman Nasional juga menambah daftar panjang atas wanprestasi negara ini dalam menjaga lingkungan hidup. Kasihan benar memang keberadaan flora dan fauna kita kalau dibiarkan terus seperti ini. Saya hanya berharap, semoga bangsa kita lekas ‘bangun’ dari tidur panjangnya ;’-(

    BalasHapus