Senin, 02 April 2012

'Gringotts' Bank of Indonesia

Museum Bank Indonesia
Berkali-kali jalan ke kawasan Kota Tua Jakarta, belum pernah sekalipun saya masuk ke Museum Bank Indonesia. Seringnya malah ke Museum Bank Mandiri yang ada di sebelahnya, entah untuk acara World Book Day atau hanya sekadar 'numpang' sholat di musholanya. Pertama kali mau masuk Museum Bank Indonesia dulu sempat ditolak sama satpamnya dengan alasan masih direnovasi. Berarti memang sudah lama sekali saya tak berkunjung ke sini.

Diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Juli 2009, museum ini dimaksudkan sebagai sarana untuk menyajikan informasi kepada masyarakat tentang peran Bank Indonesia dalam sejarah perjalanan bangsa yang dimulai sejak kedatangan bangsa barat di wilayah Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia tahun 1953, serta kebijakan-kebijakan Bank Indonesia berikut latar belakang dan dampak kebijakannya kepada masyarakat sampai dengan tahun 2005.

Menempati gedung bekas De Javasche Bank yang dibangun pertama kali pada tahun 1828, menurut saya bangunan gedung dengan arsitektur neo-klasikal ini merupakan gedung paling bagus dan paling 'terawat' di antara bangunan-bangunan lain yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Jakarta. Saya sering mengidentikkan gedung ini dengan Gringotts--banknya para penyihir dalam dunia Harry Potter yang terletak di Diagon Alley, karena sekilas bangunannya mirip dengan gedung Kedutaan Australia di London yang digunakan sebagai lokasi pengambilan gambar: bercat putih, mempunyai pilar-pilar tinggi, dan mempunyai kesan 'magic'.

The Hall (main Lobby)
Memasuki pintu utamanya, saya disambut oleh seorang satpam ramah yang mempersilakan saya masuk. Gedung ini tidak dijaga troll--raksasa gunung. Sebagai gantinya, seorang tentara gendut membawa senapan siap siaga di ruang keamanan. Ruang lobby atau hallnya bagus banget dan memberi kesan megah. Langit-langitnya tinggi menjulang dengan pilar-pilar kokoh menopang atap lengkungnya yang berbentuk setengah tabung. Yang unik dari ruangan ini, terdapat kaca patri yang berisi lukisan-lukisan tentang gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat pada tahun 1935. Hal ini mengingatkan saya pada kaca-kaca patri yang ada di dalam bangunan-bangunan kuno lain peninggalan pemerintah kolonial seperti di Museum Bank Mandiri, Gereja Katedral Jakarta, dan di Lawang Sewu, Semarang.

cerita pada kaca patri
Setelah menitipkan tas, saya menuju Ruang Pelayanan Pengunjung untuk mengisi buku tamu. Tak ada goblin--makhluk pendek yang menjadi tenaga operasional Gringotts di ruangan ini yang menyambut saya.
Seorang mbak-mbak ramah dengan senyum mengembang mempersilakan saya masuk dan menyodorkan selembar tiket. Meski tidak dipungut biaya, pengunjung museum ini tetap diberikan tiket tanda masuk. Jujur, dari semua museum yang sudah saya datangi di Jakarta, tiket museum paling bagus ya di museum ini: ada gambar museumnya pas jaman dulu, nomor seri, dan logo Bank Indonesia, tidak plain alias polos seperti tiket museum kebanyakan. Jadi, bisa sekalian dijadikan suvenir. Tak lupa saya minta brosur untuk memudahkan saya menjelajah museum ini sendiri sebelum beranjak ke ruangan berikutnya.

Setelah mengucapkan terima kasih, saya langsung menuju sebuah ruangan kecil dan gelap. Ruangan ini seperti lorong yang menghubungkan ruangan satu dengan ruangan yang lainnya. Tapi, ruangan ini juga istimewa. Pengunjung dapat menikmati atraksi permainan interaktif melalui proyektor khusus di Ruang Peralihan yang antara lain menampilkan serangkaian mata uang yang melayang berjatuhan dari langit-langit. Uang tersebut akan memberikan informasi ketika 'ditangkap' dan akan mental ke sisi yang lain jika kita sentuh. Seru pokoknya memainkan koin-koin artifisial ini. Serasa menangkap koin-koin emas Leprechaun--kurcaci pengumpul koin emas dalam legenda Irlandia, yang senang menyembunyikan koin emas di ujung pelangi. Pesan saya: jangan lama-lama berada di ruangan ini kalau tidak mau disebut orang gila gara-gara keasyikan nyolek-nyolek gambar di dinding. Ouch.  

koin-koin yang jatuh dari langit (-langit)
Museum Bank Indonesia sebenarnya dilengkapi juga dengan 'bioskop' berkapasitas 100 tempat duduk. Tapi, saya tak diijinkan untuk menonton film dokumenter tentang sejarah perjalanan Bank Indonesia saat itu karena yang minat nonton hanya saya sendiri.

"Bawa saja rombongan kalau mau nonton dan sebaiknya bukan pada hari Sabtu atau Minggu seperti sekarang, karena pengunjung ramai dan banyak yang mondar-mandir di ruangan ini", kata salah satu petugas museum yang enggan menyebutkan namanya itu. Ok deh Pak :)

Koin VOC
Saya perhatikan memang ruangan ini ramai banget dengan pengunjung yang rata-rata anak-anak remaja alay yang cekikikan dan teriak-teriak karena ditinggal temannya foto narsis bersama. Plis deh. Sebenarnya ruangan-ruangan selanjutnya cukup menarik, tapi bisa dibilang agak membosankan. Isinya berupa diorama-diorama yang menggambarkan sejarah berlangsungnya kegiatan ekonomi pada masa penjajahan kolonial. Di ruangan tersebut terdapat replika perahu bercadik dan kapal-kapal dagang Belanda, koin-koin VOC, foto-foto dan profile para pelaut besar yang pernah singgah di Nusantara, sampel rempah-rempah seperti pala, lada, cengkeh, dan kopi yang menjadi penggerak roda ekonomi waktu itu, yang mendorong VOC melakukan monopoli dagang di kawasan Hindia.

Selain itu ditampilkan pula seragam pegawai bank zaman dulu, peta-peta pelayaran jelajah samudera, dan kegiatan perbankan yang didominasi dengan diorama patung-patung bule dengan kaum pribumi yang mengangkat-angkat karung goni. Kalau melihat diorama itu, jadi ingat perkataan Pramoedya Ananta Toer bahwa bangsa Indonesia ini memang selalu jadi budak, baik bagi bangsa lain maupun budak bagi penguasa sendiri. Miris. :(

Kalau ada yang menarik bagi saya, itu adalah keberadaan panel-panel di dinding yang menampilkan metamorfosis logo Bank Indonesia sejak pertama kali berdiri tahun 1953 hingga logo yang dipakai sekarang. Pasti banyak sekali cerita di balik penentuan logo-logo tersebut, yang sayang sekali tidak dijelaskan secara panjang lebar. Dari 14 logo yang ada di situ, hanya tiga logo terakhir yang merupakan logo resmi dan dipakai sebagai logo korporasi yaitu sejak tahun 1990-an. Logo-logo yang lain merupakan logo yang muncul pada uang terbitan De Javasche Bank dan logo pada uang terbitan Bank Indonesia sampai dengan akhir tahun 1980-an.

Logo BI - dari masa ke masa
Ternyata, dari semua ruangan yang ada di dalam museum ini, ada beberapa ruangan yang tak boleh dimasuki, seperti Ruang Perenungan. Saya mengetahui ruangan ini dari brosur tapi tak boleh masuk ruangan tersebut dengan alasan sedang diperbaiki atau dibersihkan. Ada pula 'beranda' yang tidak boleh dilewati. Bosan berada di dalam ruangan, saya memutuskan untuk keluar 'mencari angin' di halaman tengah. Berada di emperan dalam museum ini, saya justru merasa seperti berada di dalam istana. Meski saya belum pernah masuk Istana Merdeka, dari tayangan-tayangan berita di televisi, saya tahu kalau teras-teras dan pilar-pilar ini sekilas mirip dengan yang ada di Istana Merdeka, dengan warna yang persis sama. Ah, saya jadi kepingin ikut tur (atau bahkan diundang masuk) ke dalam istana. Anyone?

mirip Istana Merdeka .... pengen ke sana :(

Kembali ketenangan saya diusik oleh anak ABG yang dengan santainya duduk-duduk sambil ngerumpi bareng teman-temannya di teras. Saya pun segera ngeloyor pergi, masuk ke ruangan berikutnya sembari mendengar seorang satpam teriak-teriak menyuruh rombongan alay tadi untuk turun dari singgasananya di atas teras 'pagar pembatas'. Sukurin :P

Roepiah jaman doeloe
Ruangan berikutnya ini sungguh menarik. Bukan karena saya tergila-gila dengan berbagai macam bentuk koleksi, tapi koleksi mata uang yang pernah beredar di Nusantara ini tersaji secara lengkap di Ruang Numismatik. Uang kertas dan uang logam sejak zaman VOC dulu, meliputi uang perkebunan, uang kerajaan, hingga uang merah seratus ribuan bergambar Soekarno-Hatta diatur sedemikian rupa dalam sembilan kelompok berdasarkan periode penerbitannya. Ada yang dipajang di dalam pigura di dinding, diatur dalam rak-rak panel vertikal, dan ditata dalam kotak display lengkap dengan kaca pembesar.
uang De Javasce Bank
Dengan banyaknya koleksi uang kuno di ruangan ini, semoga saja pintu besi yang menjadi gerbang masuk ruangan dilengkapi dengan sensor antituyul. Eh, emang masih ada gitu tuyul di Jakarta? Bukannya tuyulnya udah berdasi dan berponi. Ups .... no comment. :P

Yang mencuri perhatian saya dari keseluruhan koleksi mata uang tersebut adalah keberadaan Rupiah Irian Barat. Uang ini mulai berlaku di Irian Barat (sekarang Provinsi Papua) sejak Oktober 1963, yaitu setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, menggantikan gulden yang sebelumnya berlaku di wilayah itu. Uang Rupiah Papua ini ditarik peredarannya pada tanggal 1 Mei 1971 dan digantikan dengan uang rupiah yang seragam dan berlaku secara nasional kala itu.

Rupiah di Tanah Papua

Ruang ajaib selanjutnya adalah Ruang Emas. Tak jelas apakah itu emas beneran atau bukan, yang jelas di ruangan dengan pintu berlapis itu terdapat bertumpuk-tumpuk emas batangan. Di ruangan ini pengunjung dapat melihat bentuk emas moneter, merasakan beratnya melalui satu batang emas di dalam pigura kaca berlubang, dan mengetahui fungsi emas moneter melalui penjelasan yang dipajang di dinding. Emas-emas batangan ini mengingatkan saya pada galleon emas milik Harry Potter di Gringotts sekaligus tentang peringatan tentang dilarang mencuri terhadap segala sesuatu yang bukan haknya seperti yang terpatri di pintu masuk Gringotts. Bunyi pesan tersebut adalah:
Masuklah, orang asing tetapi berhati-hatilah
Terhadap dosa yang harus ditanggung orang serakah,
Karena mereka yang mengambil apa saja yang bukan haknya,
Harus membayar semahal-mahalnya,
Jadi, jika kau mencari di bawah lantai kami,
Harta yang tak berhak kau miliki,
Pencuri, kau telah diperingatkan,
Bukan harta yang kau dapat, melainkan ganjaran.
Saya bergidik kalau ingat pesan tersebut. Memang selayaknyalah kalau tidak mengambil segala sesuatu yang bukan menjadi hak milik kita. Seharusnya, pesan peringatan di Gringotts tersebut dipasang juga di lobby gedung ini maupun di seluruh lobby Gedung Bank Indonesia dan lembaga keuangan lain yang ada di seluruh penjuru Nusantara agar semua orang ingat bahwa mengelola kebijakan moneter bangsa ini bukan tugas yang ringan, baik dalam memecahkan masalah dan mencari solusi terbaik bagi ekonomi nasional, maupun godaan untuk memiliki dan mengelola 'harta karun' yang bukan milik sendiri. Ingat, kalaupun tak ada goblin dan jampi-jampi Gringotts yang memata-matai dan menghambat niat buruk untuk mencuri, tapi kan ada KPK. Hehehe. Pis. *pose cherry belle menopang dagu

Emas moneter batangan :)
Kadang, saya tak menyadari bahwa perjalanan singkat seperti ini yang justru mengajarkan kepada saya tentang hal-hal kecil dalam hidup. Memang, traveling itu sangat personal. Pembelajaran terbaik bisa didapat kepada siapa saja yang mau membuka diri dan berpikir sejenak, mengambil makna dari hal-hal kecil dalam kehidupan untuk memperbaiki diri di masa yang akan datang. Kalau dipikir, Museum Bank Indonesia ini memang menyimpan 'harta karun' yang luar biasa karena bangunannya yang unik dan megah, maupun koleksi-koleksinya yang bernilai sejarah tinggi. Sungguh beruntung bisa menikmati dan mengambil pelajaran dari tempat ini tanpa dipungut biaya. Makanya, ayo ke museum.

4 komentar:

  1. aku malah seringnya ke bank indonesia (udah 3x), kalo bank mandiri rada spooky di ruang bawah tanahnya ;(

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, 3x. aku baru sekali. seringnya ke Museum Nasional Jakarta aja kalau ke Kota Tua. Museum Bank Mandiri bagian bawahnya emang agak spooky, tapi kalau untuk acara-acara gathering komunitas traveling atau pembaca buku gitu OK banget :)

      Hapus
  2. mupeng banget abis baca tulisannya :|, kalo kejakarta pasti ke sini dah :D ayo kita ke museum, dan belajar sejarah :)

    BalasHapus