Jumat, 12 Desember 2014

Tilik Candi: Saujana di Jantung Jawa

.: Kompleks Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng :.

Jauh sebelum jajaran pegunungannya dipahat menjadi teras-teras kebun sayur, Dieng merupakan tlatah yang steril dari hingar-bingar dunia luar. Hanya sedikit orang yang sanggup menembusnya. Jauh sebelum ceruknya yang digenangi telaga berwarna dan kawah yang menggelegak ini masuk dalam jajaran komersialisasi pariwisata, gunung-gunungnya anggun memagari, menyembunyikannya diam-diam sebagai wahana selektif untuk mereka yang ingin menepi dan merayakan keheningan. Jalur untuk mencapainya dikawal ketat oleh jurang-jurang yang dalam dan dibendung dengan rimbun pepohonan lebat.

Dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para dewa, Dieng seakan menghipnotis siapa saja untuk bertandang. Sekelompok candi-candi mungil seperti bersekongkol menjadi bukti autentik bahwa berabad-abad lalu, tempat ini merupakan tempat suci yang secara ajeg disucikan oleh mereka-mereka yang menghamba pada Sang Hyang. Mereka rela menempuh perjalanan jauh dan melelahkan hanya untuk sejenak melaksanakan sebentuk iman melalui ritual pemujaan. Berabad-abad kemudian, perjalanan serupa diduplikasi oleh banyak orang dengan beragam niatan. Entah untuk meretas perjalanan suci atau sekadar menyalurkan hasrat kekaguman akan 'kemegahan' masa silam.

Selasa, 02 Desember 2014

Teroka Selera di Negeri Para Dewa

Tak pernah sebelumnya saya mendapatkan pesan yang begitu rancak untuk mencicipi kuliner di suatu daerah saat bilang hendak bepergian. Tapi Dieng telah memberikan PR jauh sebelum saya menembus wilayahnya yang dipagari gunung-gemunung. Terletak di ketinggian lebih dari 2.000 mdpl, Dieng seakan berusaha memanjakan para tamunya dengan hasil bumi yang dirawat dengan sangat manusiawi oleh keringat para petaninya. Setidaknya, ada tujuh hal yang wajib dicicipi para pejalan yang berkesempatan mampir di tlatah para dewa ini.

.: Mie Ongklok :.
1. Mie Ongklok

Hal pertama yang langsung terbersit dari beberapa teman pejalan adalah "Jangan lupa makan mie ongklok" saat saya bilang mau ke Dieng. Entah apa istimewanya mie ongklok bagi para teman pejalan ini sehingga rekomendasinya mampu menyeret saya keluar dari penginapan malam-malam untuk mencari mie khas Dieng ini.

Jumat, 28 November 2014

Papandayan: Anomali di Atas Gunung

.: Bentang Alam Gunung Papandayan :.

Saya akan langsung setuju kalau ada yang bilang Papandayan merupakan gunung yang photogenic. Bentang alamnya unik. Setiap area memiliki semacam garis demarkasi dan teritorial yang berbeda dengan wilayah di sekitarnya. Hamparan pasir berbatu berfusi dengan asap tebal belerang. Hutan lebat berdampingan mesra dengan dataran lapang yang riuh semak. Jalan setapak berbatu bersambungan dengan jalan tanah becek dan setapak berumput. Dan satu hal yang tak banyak diperhitungkan: cuaca cerah kerap berganti jadwal secara mendadak dengan kabut tebal yang diikuti oleh hujan lebat.

Seperti pagi ini. Papandayan terlihat murung sekali. Matahari tak menampakkan batang hidungnya sejak subuh. Kabut tebal seperti segan beranjak dari Pondok Saladah, tempat kami bermalam. Setiap kali berbicara, mulut tak ubahnya seperti naga yang menyemburkan asap karena gigil kedinginan. Saya yang sudah terjaga sejak pukul 4 pagi, memilih tidak terlena untuk kembali tidur. Satu pikiran yang saya ingat terus, akhir pekan adalah jadwal bagi pendaki untuk migrasi secara massal ke atas gunung. Dan untuk Papandayan, setidaknya harus meluangkan waktu barang satu jam lebih awal agar tidak terlambat sholat subuh dengan memanfaatkan fasilitas toilet umum terlebih dahulu.

Kamis, 20 November 2014

Parisada Papandayan

.: Menuju Puncak Gunung Papandayan :.

Banyak teman pendaki bilang, Gunung Papandayan cocok untuk pendaki pemula. Saya sendiri kurang suka dengan istilah tersebut. Maksudnya, sebenarnya tak ada aturan baku yang menyebutkan bahwa gunung tertentu hanya cocok untuk pendaki pemula, sementara gunung yang lain untuk pendaki yang sudah malang-melintang menaiki gunung. Memang jika diperhatikan dari kejauhan, Gunung Papandayan memiliki kontur yang relatif landai. Untuk alasan inilah mungkin, bagi kebanyakan pendaki yang dimintai saran atau rekomendasi gunung pertama yang hendaknya didaki untuk pemula, akan memilih Gunung Papandayan sebagai opsi terbaik.

Meski dianggap sebagai gunung dengan kategori 'mudah' didaki, kita tidak boleh meremehkan cuaca dan keadaan alam. Saya dan beberapa teman berangkat dari Jakarta dengan logistik dan peralatan lengkap. Memilih mendaki di bulan November memang bukan pilihan terbaik. Curah hujan di bulan ini sudah relatif tinggi meski belum mencapai puncaknya. 

Sabtu, 15 November 2014

Cinta dalam Secangkir Kopi

.: [Sarapan] Kopi, Nasi Goreng, dan Beberapa Iris Buah Segar :.
"Ibu lebih memilih tidak makan nasi daripada harus tidak minum kopi saat sarapan," kata ibu saya suatu ketika.

Kata-kata itu terlintas begitu saja saat saya sedang adu diam dengan buku menu di sebuah kedai di Jakarta. Gerimis yang syahdu menenggelamkan saya pada ingatan masa kecil yang menyenangkan untuk dikenang. 

Dari kecil saya sadar bahwa saya tumbuh di lingkungan orang-orang yang menyukai kopi. Ibu adalah orang pertama yang saya kenal sebagai seorang penikmat kopi militan. Beliau meracik sendiri kopi yang terhidang di meja. Mulai memilih biji kopi di pasar, mencuci dan menjemurnya di bawah terik matahari, menyangrainya di wajan tanah liat, dan kemudian menggilingnya. Beliau melakukan hal itu semua sendirian dengan penuh ketelatenan.

Jumat, 07 November 2014

Semarak Santa: Keriaan Sederhana di Sebuah Pasar

.: Pasar Santa, Pasar Tradisional yang sedang Bermetamorfosis :.

Lokasinya tersembunyi. Untuk orang yang baru pertama kali ke sini, saya perlu tiga kali bertanya untuk bisa menemukan lokasinya. Maklum, meski sering melintas saat saya masih tinggal di Otista dulu, kawasan ini hanya menjadi semacam 'tempat lewat' saja saat wara-wiri Blok M - Kampung Melayu. Pasar Santa namanya. Beberapa hari belakangan, pasar ini sempat melambung namanya dan menjadi topik pembicaraan hangat. Bahkan, dua orang menteri dari Kabinet Kerja juga menyempatkan diri blusukan dan potong rambut segala di pasar ini beberapa hari sebelum saya bertandang.

Saya berkunjung ke Pasar Santa bukan karena ingin menengok tempat cukur yang didatangi menteri. Saya datang atas undangan seorang kawan di ujung sana yang begitu ingin saya temui setelah rentetan kisah perjalanannya saya baca. Begitu menginjak pintu masuknya, terus terang saya sedikit terkejut. Sebuah peti mati drakula menjadi suvenir selamat datang. Mungkin saya datang kepagian. Kios-kiosnya masih pada tutup. Seorang ibu pemilik Toko Emas Cantik tampak sumringah menunjukkan arah ke toilet saat saya datang tergopoh-gopoh kebelet pipis. "Jalan lurus saja sampai mentok, lalu belok kiri. Toilet ada di ujung lorong." Begitu jawabnya sambil tersenyum ramah.  

Jumat, 31 Oktober 2014

Finding Innerpeace

.: Leyeh-Leyeh di Penginapan Freddie's Santai, Sumur Tiga :.
"Leyeh-leyeh."

Itulah jawaban terbaik yang bisa saya sampaikan kepada salah seorang teman yang begitu ingin tahu, untuk alasan apa sebenarnya saya jalan-jalan. Saya memang bukan orang melankolis, yang melakukan perjalanan untuk tujuan semisal menemukan jati diri atau sejenisnya. Saya jalan-jalan karena memang ingin jalan-jalan.

Awalnya karena ingin melihat lebih dekat segala sesuatu yang saya lihat di televisi atau saya baca di surat kabar. Selebihnya, hal-hal tertentu datang sebagai komplimen terhadap kesukaan saya akan jalan-jalan yang sifatnya lebih personal. Maksudnya, mungkin kesan yang saya tangkap tentang suatu tempat bisa jadi berbeda dengan apa yang dirasakan oleh pejalan lain.

Seperti saat bertandang ke Aceh. Tujuannya adalah mengunjungi Mesjid Raya Baiturrahman yang saya lihat dari sebuah tayangan adzan magrib di televisi. Selain mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan, saya sempatkan untuk melaksanakan sholat di sini. Saya merasa tempat ini begitu tenang dan mengundang rasa khidmad. Setidaknya, di masjid sebesar ini, saya tak merasa perlu terlalu khawatir untuk kehilangan sandal meski hari itu sedang dilaksanakan sholat Jumat, di mana jamaahnya banyak sekali.

Senin, 27 Oktober 2014

Blogger Buana


.: Yes, I'm a Blogger :.
"Untuk apa sih sebenarnya tujuan kamu ngeblog?"

Saya kerap mendapatkan pertanyaan seperti itu saat bertemu dengan teman atau saudara. Mereka mungkin pernah melihat lini masa akun facebook dan twitter saya yang ramai dengan tautan postingan blog ini.

Saya mulai kenal blog dan ngeblog sejak tahun 2007. Awalnya karena terinspirasi oleh blognya Dee Lestari. Waktu itu alamat blognya saya baca di satu surat kabar nasional. Sejak itu, saya mulai memindahkan catatan dan tulisan yang tersebar di notes dan agenda ke dalam blog. Isinya kebanyakan puisi dan artikel yang saya tulis saat masih di bangku kuliah.

Meski sudah mulai jalan-jalan sejak usia 4 tahun, saya mulai mengenal tulisan perjalanan sejak tahun 2011 dari blog dan bukunya Trinity. Dan sejak saat itu, mulailah kebiasaan ngeblog saya bertransformasi secara perlahan-lahan, dari menulis tulisan menye-menye menjadi menulis catatan perjalanan dengan membuat blog ini.

Rabu, 22 Oktober 2014

Saturasi Sebesi

.: Pulau Sebesi: pulau terdekat dari Anak Gunung Krakatau yang berpenghuni :.

Tak ada yang lebih menyenangkan bagi anak gunung sekaligus pecinta pantai selain bertandang ke sebuah 'pulau gunung' dan mendapatkan keduanya. Pulau Sebesi di kawasan Selat Sunda adalah satu dari ribuan pulau sejenis di Indonesia yang menawarkan karakteristik tersebut. Saya bertamu ke pulau ini saat matahari sudah lelah dan pergi tidur. Namun begitu, siluet raksasa sebuah bukit yang menjulang di tengah pulau masih jelas terlihat dari kejauhan.

Berangkat dari dermaga Canti di Kalianda selewat ashar membuat hati saya berdebar-debar. Beberapa kali menerjang lautan selepas senja di beberapa perairan nusantara membuat saya kerap bergumul dengan ombak laut yang tidak ramah. Angin bertiup kencang. Perahu terombang-ambing di tengah laut yang membuat isi perut teraduk-aduk. Saya merapat di dermaga Sebesi dengan sederet perasaan lega sekaligus muram. Lega karena segera bisa mandi dan bersuci. Dan sedikit muram karena dua kesempatan menengok bawah air di sekitar Pulau Sebuku harus dianulir dari jadwal.

Rabu, 15 Oktober 2014

Kelana Krakatau

.: Anak Gunung Krakatau :.

Apakah yang paling membuat hidup tidak tenang selain memerhatikan sebuah rumor dengan serius? Apakah yang paling membuat tidur tak nyenyak sebelum pendakian selain mendengar kabar burung yang simpang siur? Pendakian kali ini sudah lama saya tunggu-tunggu kesempatannya sekaligus paling membuat saya was-was. Hal ini karena tiap hari Anak Gunung Krakatau masih mengenduskan asap belerang di puncak kepundannya. Selain itu, hampir semua orang yang saya mintai informasi mengatakan kalau menjejak Anak Gunung Krakatau sangat tidak aman. Sandal japit bisa meleleh seketika. Berada di atasnya serasa berada di atas panggangan bara api.

Informasi tersebut diperparah dengan memori kolektif yang saya ingat pernah baca dari buku dan majalah. Bumi pernah luluh lantak karena amukan gunung ini. Konon, bunyi gelegarnya sampai terdengar hingga Australia dan India. Bahkan, stasiun pencatat gempa yang bercokol di Washington pun tak ketinggalan mencatatnya. Berkaca pada tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 dan peristiwa erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah tahun 2011 silam, saya membayangkan bahwa letusan gunung Krakatau tahun 1883 merupakan kombinasi dari keduanya, meski dengan skala yang jauh lebih besar.     

Minggu, 05 Oktober 2014

[Behind The Scene] Kisah di Balik Foto

.: Foto Sejenak di Batu Bolong Cottage, Senggigi, Lombok :.
Saat mengunggah foto di media sosial, saya kerap mendapat pertanyaan atau komentar begini, "Teman-temanmu baik semua ya, mau ngeladenin kamu foto-foto narsis."

Saya hanya mengiyakan saja sembari menimpalinya dengan jawaban, "Iya, kan gantian. Saya juga dengan senang hati bersedia memotret mereka sesuai dengan gaya yang mereka mau. That's what friends are for (salah satunya), selain buat patungan uang jalan." Cukup rasional, bukan?

Tapi, setelah mendapat pertanyaan tersebut, saya jadi bertanya-tanya dalam hati. Maksudnya, saya pikir, foto-foto yang saya unggah umumnya adalah foto-foto yang 'biasa', dalam artian, semua orang bisa punya kesempatan yang sama berfoto di tempat tersebut. Mungkin hanya gaya berfotonya saya saja yang lebih bervariasi. Itupun alasannya juga berasal dari komentar teman-teman di media sosial, baik yang saya kenal secara personal di dunia nyata, atau hanya sekadar akrab di ranah maya. Mereka bilang, "Gayanya jangan begitu-begitu aja dong. Bosen." Gila, komentar gaya foto udah kayak komentar adegan ranjang saja. Euwh.

Selasa, 30 September 2014

Menerabas Cibodas

.: Jalur Pendakian ke Puncak Gunung Gede - Pangrango via Cibodas :.

Naik gunung itu sungguh menyenangkan. Ada usaha yang harus ditempuh untuk dapat menggapai puncaknya. Ada pula tenaga yang harus dibakar menjadi peluh untuk menuruninya. Saya pikir, hanya orang yang benar-benar niat saja yang dapat menikmati aktivitas ini tanpa mengeluhkan suatu apapun.

Selepas menikmati momen matahari terbit di puncak Gunung Gede (2.958 mdpl), beberapa teman pendaki menyarankan untuk turun gunung melewati jalur Cibodas saja. Alasannya, selain karena jalur Gunung Putri akan menjadi 'lebih padat' daripada hari-hari biasa akibat dipakai sebagai jalur Lomba Kebut Gunung 2014, jalur Cibodas relatif lebih landai dan banyak 'hiburan'nya di sepanjang jalur pendakian. Saya yang dasarnya suka mencoba jalur baru, tentu saja langsung setuju saat diiming-imingi akan melewati banyak sekali objek menarik sepanjang jalan. Baru kali ini sepertinya saya merasakan adrenalin yang memuncak tanpa kekhawatiran tertinggal rombongan saat akan turun gunung.   

Selasa, 23 September 2014

Jalan Sunyi Seorang Pendaki

.: Jejak Langkah Sepasang Sepatu :.
"Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung."         - Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.

"Jika sedang patah hati, sebaiknya kamu naik gunung." kata seorang teman saya secara tiba-tiba di suatu siang yang biasa.

Saya tertegun sejenak. Ada banyak alasan mengapa orang naik gunung. Ada banyak pula hipotesis yang berkembang tentang alasan mengapa saya naik gunung kembali setelah vakum kurang lebih dua tahun. Dan mengapa kesemuanya merujuk pada musabab yang sama yaitu tentang perasaan patah hati ditinggal pergi ke pelaminan oleh perempuan-perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan saya, entah sebagai sahabat, entah sebagai ... ah sudahlah.  Sebegitu meranakah kelihatannya diri saya hingga selalu dihubung-hubungkan dengan hal remeh semacam itu. Namun demikian, hal-hal tersebut tetap saya dengar sebagai sebentuk perhatian yang hangat dari sebuah persahaban.

Jumat, 19 September 2014

Menggapai Puncak, Menjemput Asa

.: Matahari Terbit dilihat dari Puncak Gunung Gede :.
There's a sunrise and a sunset every single day, and they're absolutely free. Don't miss so many of them.” - Jo Walton.
Saya sering bertanya-tanya sendiri dalam hati, meski terjadi setiap hari, mengapa banyak orang rela meninggalkan tempat tidurnya yang nyaman, lalu menempuh perjalanan jauh, hingga harus merangkak menuju ketinggian atau merenung lama dalam keheningan di pinggir pantai, hanya demi menyaksikan momen matahari terbit. Di antara hamparan edelweiss yang mekar sempurna dengan udara kering yang mengundang gigil di Alun-Alun Suryakencana, saya kembali teringat dengan perjalanan-perjalanan yang sudah saya tempuh hanya untuk menyambut datangnya fajar di ufuk timur.

Saya akan selalu mencatatnya dalam benak sebagai sebuah momen menggurat pengalaman tak terlupakan menyaksikan sang surya lahir dari perut bumi. Setidaknya itulah yang tertangkap indera penglihatan saya. Saya pernah rela membeku di tengah laut Flores, mengendap-endap di bukit yang penuh kentang dan daun bawang di Lembah Dieng, hingga duduk diam penuh kesabaran di Pantai Sumur Tiga Pulau Weh, Aceh hanya agar tidak melewatkan fenomena alam yang bahkan terjadi hanya beberapa menit saja setiap hari. Betapa berharganya usaha tersebut untuk dikenang. Dan betapa indahnya momen-momen tersebut untuk diawetkan dalam ingatan.  

Senin, 15 September 2014

Gravitasi Gede

.: Jalan Menuju Puncak Gunung Gede via Gunung Putri :.

Setiap kali akan melakukan sesuatu yang membuat senang hati, perasaan saya selalu berdebar-debar dan bersemangat menyambut hari pelaksanaan itu tiba. Adrenalin saya meningkat. Animo untuk menyelesaikan pekerjaan seakan-akan bertambah, jika tak layak dikatakan meluap-luap. Sementara saya merasakan gejolak tersebut sebagai sebuah dorongan impulsif alamiah untuk mengawetkan masa muda, orang-orang di sekitar justru berasumsi bahwa saya sedang kehabisan 'obat' sehingga harus kelihatan 'kumat' (kambuh) dengan melakukan sesuatu yang berada di luar lingkaran pemikiran normal mereka.

Kali ini, yang membuat saya bersemangat adalah rencana untuk naik gunung kembali. Sepertinya sudah terlalu lama sejak pendakian saya terakhir kalinya dua tahun lalu. Saya merasa perlu untuk menyiapkan segala sesuatunya agak lebih serius. Bayangkan, tahun ini saja, dua ajakan mendaki gunung saya tepis dengan berat hati dan penuh doa supaya dapat terganti di tahun-tahun mendatang.

Selasa, 09 September 2014

Selera Sulawesi di Summarecon Mal Serpong

.: Festival Kuliner Serpong di Summarecon Mal Serpong :.
Summarecon Mal Serpong selalu penuh kejutan. Sudah sekitar setengah dasawarsa lebih tempat ini menjadi semacam oase bagi saya untuk melepas penat di akhir pekan saat tidak ada jadwal jalan-jalan. Saya bisa menghabiskan waktu dengan berbelanja buku, menikmati film-film terbaru, mencicip sajian kuliner, nonton bola bareng melalui giant screen, berjingkrak dan bersenandung saat ada konser musik, atau hanya sekadar nongkrong di malam gulita hingga pagi menyapa.

Setelah lelah bekerja seminggu penuh, ditambah menghadiri beberapa acara di Jakarta, akhir pekan kemarin saya baru sempat menyambangi kembali pusat perbelanjaan paling happening di kawasan Gading Serpong ini dengan perasaan sukacita. Pasalnya, saya sudah punya sederet rencana seharian penuh: menjumput satu buku seorang teman yang baru terbit, menyambangi bioskop, dan mencicipi beragam kuliner tradisi Sulawesi di Festival Kuliner Serpong 2014. Tak sabar saya mengulang petualangan gastronomi Sulawesi dua tahun silam saat menjelajah pulau berbetuk huruf K ini. Saya sengaja tidak sarapan sejak pagi. 

Minggu, 07 September 2014

Merencanakan Liburan dengan Cerdas Bersama Skyscanner

.: Talkshow Smart Travel Planning :.
Media sosial memang mempunyai dampak yang luar biasa. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Karena kerap membagi foto dan catatan perjalanan ke media sosial, ternyata banyak juga teman-teman maya saya yang memerhatikan. Beberapa merasa penasaran dan bertanya-tanya, bagaimana saya bisa melakukan perjalanan secara periodik, mendapatkan harga terbaik untuk akomodasi, sampai ada yang meminta saya mengatur segala hal terkait perjalanan yang mereka inginkan. Yang terakhir, kerap saya tolak secara halus karena memang saya bukan agen perjalanan atau seorang trip organizer.

Saya senang melakukan perjalanan secara mandiri. Memesan tiket penerbangan, penginapan, sampai dengan akomodasi di tempat tujuan, saya lakukan sendiri tanpa bantuan agen perjalanan. Sebagai pengguna internet aktif, saya diuntungkan dengan adanya situs-situs pencari akomodasi perjalanan seperti Skyscanner yang menawarkan layanan pencarian penerbangan yang objektif, komprehensif, dan gratis serta perbandingan secara daring instan untuk hotel dan penyewaan mobil.

Selasa, 19 Agustus 2014

[7Wonders] Ekspedisi Terios: Memburu Kenikmatan dalam Secangkir Kopi

.: Menikmati secangkir kopi di pagi hari :.
Svarnadwipa memang istimewa. Pulau besar penghuni wilayah barat nusantara ini dari dulu mengusik rasa penasaran saya untuk segera menjejaknya. Selain karena budayanya yang kaya, panorama alamnya yang memesona, dan sederet magnet yang mampu menjadi mantra ajaib yang mengundang orang untuk bertandang, kopi adalah alasan utama penariknya. Sebagai seorang petualang musiman sekaligus pecinta kopi, saya merasa perlu memasukkan Sumatera sebagai zona penting untuk memuaskan dahaga petualangan mencicip cairan biji kopi.

Pengalaman mencicip kopi tradisional dari kantong-kantong tanah subur perkebunan kopi di penjuru negeri mengantarkan saya pada keeksotisan kopi kintamani di Bali, autentisitas kopi Flores dalam suasana persahabatan yang hangat. Suatu ketika saya juga sempat mencicip secangkir Toraja yang filosofis dan segelas kecil kopi Belitong yang membudaya. Dari banyak referensi dan cerita yang saya dengar dari mulut para petualang yang saya temui, Sumatera menawarkan petualangan minum kopi yang pantang untuk dilewatkan. Dataran tinggi pegunungan Andalas merupakan tambang emas hitam yang mengantarkan Indonesia menjadi salah satu produsen kopi terbaik dunia. Saya tak sabar untuk membuktikan kebenaran desas-desus yang beredar tersebut. 

Sabtu, 09 Agustus 2014

Anjak Anjuk: Menuju Udik, Menggapai Merdesa

.: [Welcome Home] Visit Nganjuk (NY) Year 2014 :.
Ada saat-saat di mana saya merasa bahagia hidup di kota besar. Segala kemudahan fasilitas dan kesempatan untuk berproses mencari penghidupan yang lebih layak dan bermakna mempunyai banyak pilihan jalan serta kesempatan untuk dilakukan. Namun, ada saatnya pula saya menjadi melankolis karena mendamba kehidupan sederhana yang jauh dari riuh perkotaan dan hutan beton yang penuh sesak. Bebas menghirup udara segar setiap hari sembari menyesap secangkir kopi atau teh tanpa merasa perlu untuk berburu dengan waktu.

Dalam suasana menyambut liburan panjang, salah seorang karib saya bertanya kapan terakhir kali saya menjenguk kampung halaman dan apa yang menarik dari kampung tersebut sehingga membuat saya harus rela pulang. Saya jadi berpikir sejenak. Minimal sekali (atau dua kali) saat lebaran tiba, saya memang selalu pulang kampung. Keberadaan orang tua dan kerabat menjadi faktor penentu alasan paling dominan. Selain itu, saya kerap menyisihkan beberapa hari untuk berlibur keliling pelosok daerah di mana saya dulu numpang lahir. Alasannya, selain mencoba mengenal lebih dekat daerah sendiri, sebagai seorang petualang musiman yang kerap diidentikkan dengan selalu keluyuran ke penjuru negeri, saya merasa mempunyai kewajiban moral untuk mengenalkan daerah sendiri kepada khalayak lebih luas sebagaimana yang biasa saya lakukan terhadap daerah-daerah yang sudah saya sambangi.

Minggu, 27 Juli 2014

Luntang-Lantung di Bandar Lampung

.: Menara Siger, icon Provinsi Lampung :.
Begitu melihat Menara Siger, sesaat setelah berlabuh di Pelabuhan Bakauheni, saya pikir kota Bandar Lampung tidak jauh dari bibir pantai. Pasalnya, dari dulu saya mengira menara ini ada di tengah kota. Ternyata ibukota provinsi Lampung tersebut dari pelabuhan masih harus ditempuh sekitar 1,5 jam lagi berkendara dengan mobil.  Saya kembali membenamkan diri dalam alunan lagu-lagu dari Float dan Maliq and D'Essentials sembari mengikuti ritme jalanan yang bergejolak.

Setelah mengetahui kenyataan bahwa Waikambas harus saya relakan untuk tidak masuk dalam daftar kunjung saat ini, saya mulai mencari tempat menarik lain di sekitar Bandar Lampung. Setelah googling dan tanya sana-sini, ternyata tempat menarik di Lampung kebanyakan memang terletak di luar kota. Akhirnya diputuskan bahwa selain mengunjungi pulau-pulau cantik di Teluk Lampung, wisata kuliner di Kota Bandar Lampung merupakan pilihan paling asyik untuk para petualang musiman yang pengen liburan tanpa harus mengambil jatah cuti tahunan seperti saya. Dan karena judulnya wisata kuliner, hal esensial yang perlu disiapkan selain duit adalah badan sehat dan perut kosong. Berangkat!

Kamis, 17 Juli 2014

Mengarung Teluk Lampung

.: Pantai Pasir Putih di Pulau Pahawang Kecil, Teluk Lampung :.

Awalnya, saya pikir tak banyak yang bisa ditawarkan Lampung sebagai sebuah destinasi wisata lokal yang menjanjikan. Pasalnya, saya hanya mengenal Lampung sebagai oase tempat mamalia terbesar sejagad bersemayam. Selebihnya, akhir-akhir ini, melalui bincang-bincang santai dengan beberapa kawan pejalan, Lampung mulai terdengar di telinga saya melalui atraksi lumba-lumba di lepas pantai Kiluan yang (katanya) mulai menyaingi akrobatik serupa di Lovina, Bali. Saya pun heran saat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memilih propinsi di kaki Sumatera ini sebagai tuan rumah perhelatan akbar Tourism Indonesia Mart and Expo (TIME) dua tahun berturut-turut di 2011 dan 2012. Apa yang ditawarkan oleh Lampung yang bahkan namanya tak terlalu bergaung di kancah pariwisata nasional?

Keinginan untuk menilik Lampung dari dekat bersambut ketika datang undangan dari teman kantor yang hendak melepas masa lajang. Hal pertama yang melintas di kepala saya tetap saja mengunjungi Waikambas. Tapi, berdasarkan info dari teman yang lama tinggal di Lampung, Waikambas terlalu jauh dari pusat kota Bandar Lampung. Saya mulai mencari informasi tentang destinasi menarik lain di Lampung untuk membunuh waktu seharian sebelum datang ke acara kondangan. Saya cek peta, dan mulai mengarahkan pandangan ke arah Selat Sunda. Bagai planet-planet kecil yang membentuk konstelasi, serakan pulau di Teluk Lampung seakan menggoda untuk dijamah. Dan saya pikir, menyusuri pantai dan menjelajah pulau-pulau kecil di teluk Lampung yang teduh merupakan pilihan yang lebih menarik daripada membenamkan diri seharian di penginapan. 

Rabu, 25 Juni 2014

Historical Islands Adventure: Menjejak Titik Nol Imperium Kolonial di Nusantara

.: [Titik Nol] Pulau Unrust, Pulau Cipir, dan Pulau Bidadari Dilihat Dari Udara :.

Dalam sebuah perjalanan santai menuju Surabaya, pesawat yang saya tumpangi terbang di atas kawasan Kepulauan Seribu. Sungguh sebuah kejutan dapat menikmati pemandangan Jakarta layaknya 'pandangan mata burung', mengingat seringnya udara ibukota yang terselimuti awan polusi. Apa yang tersaji di balik jendela pesawat seolah menjadi pengingat kembali pikiran saya dari amnesia panjang: bahwa Jakarta bukan melulu wilayah daratan yang dihuni oleh gedung-gedung bertingkat dan disesaki deru mesin kendaraan. Jakarta juga punya laut yang di dalamnya bertabur pulau-pulau cantik.  

Saya merasa beruntung pagi itu. Pesawat yang saya tumpangi terbang tepat waktu. Sebuah bonus berupa sajian pelengkung warna-warni pelangi sanggup mengarahkan perhatian saya pada gugusan pulau di bawahnya: Pulau Unrust, Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Bidadari. Sebenarnya saya sudah tak asing lagi dengan pulau-pulau tersebut, mengingat seringnya saya lintasi ketika berpesiar di pulau-pulau yang agak jauh dari bibir pantai teluk Jakarta semacam Pulau Tidung. Tapi, mungkin karena bukan destinasi populer bagi pejalan ditambah minimnya informasi tentang pulau tersebut seolah membuat tenggelam pesonanya.

Minggu, 22 Juni 2014

Workshop "Travel and Blog: Let's Blog Better"

.: The Pilot Project of Workshop Travel and Blogging :.

Dalam suatu kesempatan, saya pernah ditanya oleh seorang teman blogger tentang bagaimana caranya menulis yang baik. Di kesempatan yang lain, saya juga pernah ditanya tentang tips-tips menulis catatan perjalanan. Sebenarnya, saya agak kurang nyaman untuk menjawab pertanyaan semacam ini.

Pertama, saya merasa belum pandai dan mahir menulis. Apa yang saya tulis di blog ini semata-mata untuk mengakomodasi foto-foto perjalanan saya yang jumlahnya (meminjam komentar mas @ariysoc) sudah di luar kewajaran. Kedua, saya termasuk orang yang kurang pandai untuk membagi waktu. Berkali-kali sudah membuat jadwal yang (saya pikir) rapi, ternyata malah secara sengaja saya langgar sendiri dengan berbagai macam alasan dan toleransi. Saya jadi merasa tertampar kalau ingat dengan kata Pablo Picasso bahwa "menunda sampai besok apa yang Anda inginkan, bisa membuat Anda mati tanpa melakukan apapun." Sungguh malu sekali jika mengingat kalimat tersebut sambil membaca ulang rencana yang sudah saya buat di setiap awal tahun.

Selasa, 27 Mei 2014

Enchanting England

.: Kaos Inggris selalu eksis di mana-mana :.
Pernahkah Anda menginginkan sesuatu hingga terbawa dalam mimpi? Pernahkah Anda terobsesi dengan sesuatu yang sulit direngkuh hingga secara tak sadar, berusaha mengidentikkan hal yang Anda obsesikan tersebut dengan sesuatu hal lain yang ada di sekitar?

Inggris. Saya menganggapnya sebagai negara adidaya kedua setelah Amerika, negara kepulauan layaknya Indonesia, dan penganut monarki serupa Yogyakarta. Meski secara fisik jauh, tapi jejak peradaban bangsanya terserak begitu dekat di penjuru nusantara.

Saya tidak sedang menikmati amortentia dalam dosis kolosal. Tapi, jika mendapat tawaran untuk mengunjungi Inggris, setidaknya saya punya jawaban paten mengapa harus bertandang ke sana.

Senin, 19 Mei 2014

Triwindu

.: Pasar Triwindu, Surakarta :.

Antik. Kuno. Tua. Bekas. Deskripsinya seolah tak menarik. Tapi begitu melongok ke dalamnya, para penyuka barang antik dijamin langsung tenggelam dalam sebuah saujana yang menyejukkan mata. Pasar Triwindu merupakan salah satu pasar 'tua' di kota Surakarta. Nama Triwindu disematkan karena dulunya, pasar ini hanya diselenggarakan setiap tiga windu atau 24 tahun sekali sejak tahun 1939.  Saat ini, Pasar Triwindu buka setiap hari dari pukul 9 sampai dengan pukul 4 sore.

Pasar ini dikenal sebagai tempat jual beli barang bekas, barang antik dan kuno, maupun barang-barang unik yang sudah dimakan usia. Saya sengaja mampir ke Pasar Triwindu sebelum mengunjungi Pura Mangkunegaran yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari pasar ini.

Sabtu, 17 Mei 2014

Wisata Museum: Menembus Masa, Mengawetkan Waktu

.: Museum Nasional, Jakarta :.
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, wisata ke museum tampaknya bukan menjadi pilihan utama liburan. Masih banyak yang beranggapan bahwa pergi ke museum tak ubahnya malah menambah penat. Orang lebih suka pergi ke kebun binatang atau ke pantai daripada melihat benda-benda kuno yang justru menuntut pengunjungnya untuk mengingat-ingat dan 'mengenang' masa lalu. Sampai ada sebuah kelakar yang mengatakan bahwa orang Indonesia itu seumur hidup pergi ke museum hanya dua kali. Yang pertama adalah saat ada tugas sekolah dari guru dan yang kedua yaitu saat mengantar anaknya mengerjakan tugas dari gurunya.

Sangat miris sebenarnya saat mendengar informasi tentang museum yang ada di luar negeri dengan tiket masuk seharga sekian euro dari para turis dalam negeri, sementara mereka nihil informasi tentang museum-museum lokal yang bisa jadi jauh lebih lengkap dan beragam koleksinya. Padahal, hidup di Indonesia seharusnya sangat termanjakan dengan tersedianya begitu banyak museum dengan koleksi yang bermacam-macam pula. Pun juga, harga tiketnya kadang kala sangat tidak manusiawi dibandingkan dengan apa yang dapat diperoleh jika kita bertandang di dalamnya. Bahkan ada yang tanpa dipungut biaya. Bayangkan, rata-rata tiket masuk museum di Indonesia untuk pengunjung dewasa 'hanya' Rp. 2.000,00 hingga Rp.5.000,00 saja. Masih lebih mahal dibandingkan dengan, katakanlah, tarif jalan tol atau parkir di mal. Tapi, apakah dengan begitu museum-museum di Indonesia serta merta ramai pengunjung?

Kamis, 01 Mei 2014

Pusaran Mangkunegaran

.: Sugeng Rawuh wonten Pura Mangkunegeran, Surakarta :.

Kota Surakarta yang kalem mengoleksi dua keraton megah yang mampu mengawetkan sejarah. Keduanya dibelenggu dengan kaku oleh dinding-dinding tinggi baluwarti sebagai pertahanan terhadap musuh. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai keraton yang lebih sepuh hampir selalu menjadi rujukan banyak pejalan saat bertandang ke kota ini. Orang sering menyebutnya dengan keraton Solo.

Sedangkan Pura Mangkunegaran sebagai keraton yang berusia lebih muda sekaligus 'rival' yang berdiri sendiri, seringkali dilewatkan begitu saja. Jika diperhatikan, fasad bangunannya memang terbilang sangat sederhana untuk ukuran sebuah istana kerajaan. Tak ada alun-alun dan beringin kembar layaknya pakem sebuah keraton di tlatah Mataraman.

Berbekal sekelumit memori pelajaran sejarah yang didongengkan di sekolah, dengan ditemani seorang abdi dalem sebagai pemandu, saya bertamu di keraton ini saat hari sudah tidak terlalu terik. Jika boleh disebut beruntung, untuk kesekian kalinya saya mendapatkan ekslusivitas sebuah kunjungan di kediaman seorang petinggi negara atau kerajaan.

Sabtu, 26 April 2014

Sambang ke Sabang

.: Welcome to Sabang :.

Jika ada pulau di Indonesia yang dapat dikelilingi dalam sehari dan di dalamnya menampung banyak sekali tempat photogenic yang mengundang decak kagum, saya akan menyodorkan Pulau Weh di Aceh sebagai salah satunya. Terserak di ujung nusa, Pulau Weh seakan menjadi destinasi wisata paling bersinar di Indonesia bagian barat. Pulau ini setidaknya menampung atribut-atribut yang biasa didominasi pulau-pulau yang ukurannya lebih besar: gunung berapi aktif, pantai-pantai cantik berpasir putih, dan pelabuhan yang ramai.

Dulu, saat memandang peta Indonesia yang tergantung di ruang foto keluarga, saya selalu membayangkan bahwa negara Indonesia itu wilayahnya mirip seperti sebuah perahu. Dan dalam imajinasi masa kecil saya, Pulau Weh merupakan bagian ujung haluan depan. Letaknya yang berada di garda depan nusantara menghadap Laut Andaman itulah yang membuat saya tertarik untuk menjejaknya. Ke situlah saya menuju setelah dua hari keliling kota Banda Aceh dan sekitarnya.

Minggu, 20 April 2014

Sensasi Negeri Serambi

.: Masjid Raya Baiturrahman :.

Dari puncak menaranya yang jangkung, seruan Tuhan terdengar syahdu menutup senja. Panggilan itu bertalu-talu lembut seperti sebuah undangan untuk bertandang ke sebuah 'istana' putih. Fasad bangunannya sungguh menawan. Ada nuansa magis di sana. Jauh sebelum Aceh populer paska tsunami tahun 2004 silam, saya tergoda untuk menyambangi tanah rencong setelah terpana dengan bangunan cantik serupa Taj Mahal di India dari sebuah tayangan adzan magrib di televisi.

Saya datang ke Aceh bersama dengan stigma di kepala. Terletak jauh di ujung Sumatera memang membuatnya kurang dikenal dan kerap mendapatkan prasangka. Sarang konflik, aturan syariat Islam yang kaku, rawan gempa dan tsunami, serta identik dengan lahan ganja. Berusaha bersikap netral terhadap informasi yang belum tentu kebenarannya dan niatan awal untuk memenuhi semacam janji kepada diri pribadi, mengunjungi masjid yang ada di tayangan adzan magrib, saya melenggang ke Aceh dengan perasaan tenang.  

Sabtu, 12 April 2014

Jelajah Nusantara Bersama Garuda Indonesia

.: Boeing 737 - 800 NG :.
Sebagai seorang pejalan yang terobsesi menjelajahi seluruh bumi nusantara, saya kerap memilih moda transportasi udara demi menghemat waktu. Berkali-kali naik pesawat terbang, saya kerap bermimpi suatu saat bisa naik Garuda Indonesia. Mungkin sering dianggap norak (oleh teman-teman), saya sering minta difoto di hadapan pesawat Garuda Indonesia saat berjalan menuju terminal bandara meski tidak naik pesawatnya.

Maklum, dalam pikiran kolektif saya, Garuda Indonesia adalah maskapai dengan tarif premium. Bayangkan, dari 14 maskapai nasional, Garuda Indonesia merupakan satu dari tiga maskapai yang menawarkan kelas bisnis dan satu-satunya yang bermain di segmen full-servise. Bagi saya, bisa naik Garuda Indonesia itu ibarat tingkat kegantengan dan kepercayaan diri sedikit terkatrol dalam lingkungan pergaulan para pejalan yang kerap jor-joran bersaing mendapatkan tiket paling murah dari maskapai bujet.

Sabtu, 15 Maret 2014

Jogja Melankolia

.: Welcome to Yogyakarta :.
Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta, Yogya, Jogjakarta, Jogja, Yogja dan malah ada yang menyebutnya dengan Yoja. Meski paham nama yang benar dan baku setelah Indonesia merdeka adalah Yogyakarta, tapi demi mendukung program yang diusung dalam tagline Never Ending Asia, saya akan menggunakan nama Jogja saja.

Saya tidak dilahirkan di Jogja. Tapi, entah mengapa, sepertinya mempunyai hubungan emosional yang kuat dengan kota ini sampai-sampai banyak orang mengira kalau saya berasal dari sana.

"Dari Jogja ya mas?" Begitu biasanya teman-teman yang baru kenal berusaha menimpali. Awalnya saya berpikir, apa yang membuat mereka mengidentikkan saya dengan (orang) Jogja? Kalau lagi niat menjawab, saya akan jelaskan kalau saya bukan dari Jogja dan tidak tinggal di Jogja. Tapi, kalau lagi malas, saya akan mengiyakan saja dan berusaha melihat reaksinya. Hehehe. Tapi, pada suatu kesempatan saya bertandang kembali untuk kesekian kalinya ke kota ini, saya sering mendapat pertanyaan, "Jogjanipun pundi mas?" (Jogjanya sebelah mana mas?) dari orang-orang Jogja sendiri. Lho? Wong orang Jogja saja mengira kalau saya bagian dari masyarakatnya, berarti saya pikir itu juga jadi alasan yang cukup untuk menjelaskan mengapa saya mempunyai hubungan emosional yang kuat dengan Jogja.   

Jumat, 14 Februari 2014

Ekspedisi Susur Sungai

.: Sungai yang Menantang untuk Disusuri :.

Eksotis. Itulah kata yang selalu disematkan oleh teman-teman saat mengomentari beberapa foto perjalanan saya. Kata itu hampir selalu diidentikkan dengan suatu destinasi yang tidak populer, susah untuk menjangkaunya, dan dibutuhkan biaya yang tidak murah untuk menuju ke sana. Padahal, tempat-tempat yang saya kunjungi merupakan tempat yang sangat familier bagi banyak orang, tidak terlalu susah untuk pergi ke sana jika memang diniatkan, dan untuk mendapatkan harga terjangkau, hal itu dapat disiasati dengan berbagi biaya dengan para pejalan lain.

Beberapa kali turut serta dalam tantangan menyusuri sungai berarus liar, tiba-tiba saja saya kepikiran untuk mencoba menyusuri sungai-sungai berair tenang. Sungai seperti ini biasanya berada di dekat muara, alirannya membelah hutan yang cukup lebat, dan tantangannya justru tersimpan di dalam arusnya yang santun. Sungai dengan karakter seperti yang saya sebutkan di atas, sangat mudah dijumpai di Indonesia. Beberapa sudah menjadi destinasi wisata populer, tapi masih banyak lagi yang belum tercium radar wisatawan. Dari ratusan sungai yang dikoleksi bumi pertiwi, saya susuri tiga di antaranya.    

Jumat, 17 Januari 2014

Komedi dalam Sebuah Pantat Truk

.: Paling Populer dan Familiar :.
Salah satu hal seru yang sering saya lakukan tiap pergi-pulang kantor adalah memerhatikan truk atau mobil boks yang ada di depan mobil yang saya tumpangi. Biasanya, di bagian belakang truk tersebut terdapat gambar atau lukisan dengan tulisan berupa pesan yang membuat saya ketawa sendirian. Kalau di mobil boks yang jarang dicuci pemiliknya, biasanya terdapat tulisan-tulisan yang bisa bikin geli hingga bikin tertawa cekikikan kayak setan.

Bayangkan, lima hari kerja dalam seminggu, pergi-pulang kantor sejauh lebih dari 100 km, ditambah dengan jalan-jalan di akhir pekan merupakan alasan yang cukup bagi saya untuk sering bertemu dengan ratusan tulisan dan gambar lucu di pantat sebuah truk yang membuat saya selalu tertawa. Bagaimana saya gak bahagia dan awet muda coba?